web 2.0

Sabtu, 09 Oktober 2010

majalah al hasan


beli buku

mau beli buku buku .....
ga perlu keluar rumah
sms aja:
ktik (judul buku)spasi (penulis)spasi(penerbit) kirim ke 085 223 990 044
kami akan bls dengan memberitau harga bukunya/....

makalah


MAKALAH
BUDAYA PENDIDIKAN PESANTREN


Dibuat Untuk Memenuhi Salasatu Tugas Mata Kuliah  
Sejarah Lokal II









Disusun oleh :

Dian Prayoga
Asep herdiansah
Ipan M
apriani











FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS GALUH
2010


KATA PENGANTAR


Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat  Alloh Swt. yang atas kudrat dan irodah-Nya penulis bisa menyelesaikan makalah ini. Shalawat beserta salam semoga terlimpahcurahkan kepada junjunan nabi kita Nabi Muhammad saw. dan  juga kepada keluarga, sahabatnya serta para pengikutnya hingga akhir zaman.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salahsatu tugas mata kuliah Sejarah Lokal II
dalam ini penulis mempokuskan pembahasan kepada pesantren,karena menurut penulis membicarakan pesanteren masa lalu dan masa sekarang tidak akan ada ujungnya.

Dan terakhir penulis mengucapakan terima kasih kepada orang-orang yang telah membantu
penulis dalam penyusunan makalah ini. Tentunya tak ada gading yang tak retak, dan manusia tempatnya khilaf dan salah, maka apabila menemukan sesuatu yang tidak sesuai dan tidak benar dalam makalah ini maka penulis dengan besar hati mohon kritik dan koreksinya yang bersifat membangun.







                                                                                                       Penyusun

























BAB I

1.  Pendahuluan


          Pesantren atau pondok adalah lembaga yang dapat dikatakan wujud proses wajar perkembangan sisttem pendidikan dan merupakan bapak dari pendidikan islam. Dari segi historis, pesantren tidak hanya identik dengan mekna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia. Sebab, lembaga pesantren sebenarnya sudah ada sejak masa hindu budha.
          Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Disamping itu, kata pondok mungkin berasal dari bahasa arab punduq yang berarti hotel atau asrama[1]. Pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari asalnya. Merupakan tempat tinggal kiai bersama santrinya dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada awal pertumbuhan dan perkembangannya, pondok bukanlah semata-mata dimaksudkan sebagai tempat tinggal atau asrama para santri untuk mengikuti dengan baik pelajaran yang diberikan oleh kiai, melainkan juga sebagai tempat training tau latihan bagi santri agar mampu hidup mandiri dalam masyarakat. Dalam perkembangan berikutnya terutama pada masa sekarang, tampaknya lebih menonjolkan fungsinya sebagai tempat yang dikomersialkan, setiap santri dikenakan semacam sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok tersebut. Yang ada pada periode sebelumnya, para santri tidak pernah membayar uang sekolah dan semacamnya untuk pendidikan yang ia terima, karena ilmu pengetahuan agama tidak boleh atau tidak dapat dihargai dengan uang. Begitu pula mereka tidak membayar uang sewa gedung atau pondok yang mereka tempati. Pesantren mendapat penghasilan tetap dari wakaf yang disulap menjadi lahan pertanian atau dari santri yang membawa hadiah untuk kiainya.
          Hubungan kiai dan santri pada umumnya merupakan hubungan ketaatam tanpa batas, begitu pula kepada guru bantu, rasa persamaan dan persaudaraan diantara para santri sangat terasa. Keseharian dalam pesantren hamper seluruhnya diatur oleh para santri sendiri, kiai tidak terlibat langsung dalam kehidupan para santri. Peraturan dipesantrenpun seluruhnya diurus sendiri para santri, kiai hanya sebagai pengawas dan member persetujuan yang sudah dianggap sesuai dengan kehidupan para santri.


















BAB II

2.1 Asal-usul pesantren
          Tidak jelas dan tidak banyak referensi yang menjelaskan kapan pesantren berdiri, bahkan istilah pesantren, kiai, dan santri masih diperselisihkan. Menurut asala katanya pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan pe dan akhiran –an yang menunjukkan tempat. Dengan demikian pesantren artinya tempat para santri. Selain itu, asal kata pesantren terkadang dianggap gabungan dari kata sant (manuisa baik) dengan suku kata tra (suka menolong) sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik[2]. Lebih jelasa dan sangat terinci sekali nurkhalis mengupas asal usul perkataan santri, dan juga tentang kiai karena kedua perkataan tersebut tidak dapat dipisahkan ketika dibicarakan tentang pesantren. Ia berpendapat: santri asal kata sanskerta yang berarti khuruf, dikonotasikan santri adalah kelas literary, pengetahuian agama dibaca dari kitab bahasa arab dan diasumsikan bahwa santri berarti juga orang yang tahu tentang agama paling tidak santri dapat membaca al-qur’an sehingga membawa kepada sikap lebih serius dalam memandang agama. Perkataan santri juga berasal dari bahasa jawa cantrik yang berarti orang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru menetap, tentu dengan tujuan dapat belajar dari guru mengenai sesuatu keahlian. Cantrik dapat juga diartikan orang yang menumpang hidup. Termasuk orang yang dating menumpang dirumah orang lain yang mempunyai sawah atau lading untuk ikut menjadi buruh tani juga disebut santri, tentu ini juga berasal dari perkataan cantrik.
          Perkataan kiai (laki-laki) dan nyai (wanita) mempunyai arti tua, orang jawa memanggil yahi yang berupa singkatan dari kiai, dan kepada nenek dipanggil nyahi. Kedua arti tersebut terkandung rasa pensucian pada yang tua, sehiingga kiai tidak saja berarti tua, tetapi juga yang bearti sacral, keramat, dan sakti. Begitulah, benda-benda yang dianggap keramat seperti keris pusaka, keraton, kerbau bule, disebut juga kiai.
          Dari ssisi bentuknya antara pendidikan hindu diindonesia dan pesantren dapat dianggap sebagai petunjuk asal-usul pendidikan pesantren, seperti penyerahan tanah dari Negara untuk kepentingan agama, system pendidikan hindu maupun pesantren si Indonesia tidak dijumpai pada system pendidikan yang asli dimekah, letak pesantren yang didirikan di desa[3]. Semua itu dapat dijadikan alasan untuk membuktikan bahwa asal-usul pesantren dari india. Mahmud yunus menyatakan dalam sejarah pendidikan islam bahwa asal-usul pesantren yang menggunakan bahsa arab pada awala pelajarannya ternyata dapat ditrmukan dibahgdad ketika menjadi pusat dan ibukota wilayah islam, tradisi menyerahkan tanah oleh Negara dapat ditemukan dalam system wakaf[4]. Dengan mengemukakan pedapat para pakar tersebut membuktikan bahwa persoalan-persoalan historis tentang asal-usul pesantren tidak dapat diselesaikan dan dipahami secara keseluruhan, sebelum problematika lainnya terselesaikan terlebih dahulu, yaitu tentang kedatangan islam di Indonesia dalam hubungan ini ada kalangan yang mengatakan hokum islam disampaikan melalui jalan damai, dan ada pula yang menyatakan dengan menyingkirkan agama lain secara perlahan.
        

  Terlepas dari masalah-masalah atau pendapat-pendapat diatas, ternyata hubungan yang lebih erat antara islam Indonesia dengan pusat-pusat islam terutama mekkah yang terjadi selama ini pada garis besarnya merupakan usaha penyesuaian diri dengan pendidikan islam yang diberikan dimekkah. Hal ini dapat dilihat dari asal semua kitab kuning yang tebal maupun yang tipis, dan semua guru atau kiai mendapat pendidikan dari mekkah.

2.2  Pertumbuhan kelembagaan pesantren
          Pembangunan suatu pesantern didorong oleh kebutuhan masyarakat akan adnya lembaga pendidikan, namun factor guru yang memenuhi persyaratan keilmuan yang diperlukan akan sangat menentukan bagi timbulnya suatu pesantern. Pada umumnya, berdirinya suatu pesantern diawali dari pengakuan masyarakat akan keunggulan dan ketinggian ilmu seorang kiai atau guru. Karena keinginanmenuntut dan memperoleh ilmu dari guru maka masyarakat sekitar atau dari luar daerah dating untuk belajar. Biasanya santri yang telah menyelesaikan dan diakui telah tamat, ia diberi izin atau ijazah oleh kiai untuk membuka dan mendirikan pesantren baru didaerah asalnya. Dengan cara demikian pesantern- pesantren berkembang di berbagai daerah, terutama pedesaan, dan pesantern awal disebut sebaai pesantern induk. Perkembangan kelembagaan pesantern seperti ini oleh zamaksyari disebut pesantern salafi. Yang tetap mempertahankan kitab-kitab kuning klasik. Dia mengatakan pula, dengan akibat tumbuh kelembagaan pesantern seperti ini tercatat dijawa dan Madura dari abad ke 19 makin bertambah jumlahnya sehingga pada tahun 1942 berjumlah 1871 pesantern dan pada tahun 1977 menjadi 4.195 pesantern. Hasbullah berpendapat bahwa pesantern di Indonesia memang tumbuh dan berkembang sangat pesat, pada tahun dan abad ke 19 untuk jawa saja terdapat tidak kurang dari 1853 santri. Jumlah tersebut belum termasuk pesantern-pesantern yang berkembang diluar jawa, seperti di Sumatra, Kalimantan dan lain-lain yang keagamaannya terkenal sangat kuat. Dengan demikian, jjelaslah bahwa pesantren bukan hanya mampu bertahan melainkan pada gilirannya mampu mengembangkan diri dan menempati posisi penting dalam percaturan pendidikan, sehingga pesantern dalam sejarah perjalanannya menalami perubahan dan pertumbuhan sekaligus merupakan perkembangan baik dilihat dari sisi isi maupun maupun dari segi bentuk.
          Para eksponen pesantern cenderung lebih hati-hati dalam menjawab perubahan. Mereka tidak tergesa-gesa dalam menstransformasikankelembagaan pesantern menjdi lembaga pendidikan islam modern. Tapi menerimanya dalam skala yang sangat terbatas. Sebatas melakukan penyesuaian yang dianggap mendukung kontinuitas pesantern itu sendiri.
          Dengan demikian, pesantern tidak lagi identik dengan kelembagaan pendidikan islam, yang khas jawa tetapi telah diadopsi oleh wilayah-wilayah lain, seperti di sulasi, Kalimantan, tapi anehnya di Sumatra barat menggantikan nama surau menjadi pesantern, ini terjadi didaerah sub urban kota padang Sumatra barat dengan nama pesantern modern Prof. Dr. Hamka. Sejalan dengan perkembangannya, pesantern diadopsi dari bagian-bagian tertentu, seperti pengapdosian system pengasramaanpada SMU Unggulan, yang sebenarnya system itu merupakan salah satu karakteristik dasar system pendidikan pesantern yang dikenal dengan system santri mukim. Bahkan belakangan ini pesantern telah menuju suatu perkembangan institusiopnal yang luar biasa, yaiti dengan berdirinya perguruan tinggi di pesantern.
          Perlu diingat ada perbedaan mencolok antara pesantern dan perguruan tinggi, baik secara institusional, filosofis maupun cultural. Secara fenomenal, pesantern bercoerak tradisional, berada di pedesaan, sedangkan perguruan tinggi bersifat modern dan terdapat di perkotaan, juga memiliki keunggulan rasionalis, sementara pesantern bersifat spiritual, lemah dalam intelektual. Itulah perbedaan mendasar antara keduyanya. Tapi belakangan ini mulai semakin mendekat. Bila dilihat dari era perubahan, dan pertumbuhan pesantren di temukan pola bermacam- macam perubahan,
          Adapun pertumbuhan kelembagaan pesantern menurut data yang ada dapat dilihat dari segi horizontal dan fertikal. Segi horizontal pertumbuhan kelembagaannya berdasar kepada ijazah bukan formal kertas yang bertuliskan, tanda tangan dan stempel, tetapi berupa doa kiai sentarl untuk santri yang telah dianggap cakap dan memenuhu persyaratan untuk bias mendirikan suatu pesantern didaerah tempat mereka dilahirkan. Dari segi vertical, dapat dilihat dari segi pola pertumbuhan dan perkembangan fisik, dari semula yang masih berbentuk sederhana sampai pad bentuk yang dianggap modern.

2.3 Rumusan masalah
Tulisan ini mencoba menjawab beberapa masalah sebagai berikut:
1.Bagaimana karakteristik pesantern?
2.Apa pengaruh pesantern pada kehidupan social, budaya, ekonomi, dan politik?

2.4  Metode pembahasan
          Pembahasan ini menggunakn metode analisis deskriptif. Metode ini di pakai untuk mengungkapkan karakteristik pesantern dan unsure-unsur kelembagaannya sebagai mana adanya. Kemudian dianalisis secara kritis perkembangan dan kemajuan pesantern serta variabilitasnya dalam perubahan dan kemajuan zaman. Data atau informasi mengenai pesantern dilacak dari kajian-kajian terdahulu yang pernah dilakukan oleh para ahli baik berupa buku maupun artikel.

2.5  Kerangka teoritis
          Sebelum dibahas lebih lanjut, perlu di pertegas lebih dahulu makna pesantern secara konseptual dan kerangka teoritis yang digunakan. Makna pesantern misalnya, meskipun sudah sering dibahas dan secara teknis hamper tidak diartikan secara pasti, perlu dikemukakan kembali untuk kekabuaran pemahaman. Selain itu dalam perjalan pesantern, telah mengalami diservikasi sedemikian rupa sehingga terjadi pergeseran makna atau pengertian pesantern, dalam kajian ini dianggap penting.
          Pesantern bukanlah semacam sekolah, dalam lingkungan pesantern saat ini telah banyak pula didirikan unit-unit pendidikan klasikal dan kursusu. Berbeda dengan sekolah, pesantern memiliki kepemimpinan, cir – cirri khusus semacam kepribadian yang di warnai karakteristik pribadi kiai, unsur-unsur pimpinan pesantern, bahkan juga aliran keagamaan. Tertentu yang dianut. Pesantern bukan semata lembaga pendidikan melainkan juga sebagai lembaga kemasyarakatan. Ia memiliki pranat tersendiri yang memilki hubungan fungsional dengan masyarakat dan hubungan tata nilai dengan kultur masyarakat tersebut.
          Kemudian pendidikan pesantern dalam corak tradisional dan oto sentries, yang berpusat pada diri sendiri dan kemudian menjadi adaptif dan emansipatif terhadap perubahan social serta berusaha mempertahankan kebudayaan etnis dan identitas bangsa serta mengusahakan lenyapnya dominasi politik asing didalan negeri. Ini mengindikasikan bahwa pesantren memiliki pengaruh dalam proses pelestarian bdaya local, dan telah berperan aktif dalam keidupan social, ekonomi dan politik. 

2.6  Karakteristik pendidikan pesantren
1.  Materi pelajaran dan metode pembelajaran
          Sebagai lembaga pendidikn islam, pesantern pada dasarnya mengajarkan , sedangkan sumber kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab yang berbagasa arab. Pelajaran agama yang dikaji ialah al quran dengan tafsirannya dll, kitab yang dikaji di pesantern umumnya kitab-kitab yang di tulis pada abad pertengahan yaitu, antara abad ke 12 dengan abad ke 15 atau lazim yang di sebut dengan kitab kuning.[5] adapun metode yang lazim dipergunakan dalam pendidikan pesantern ialah: wethonan, sorogan, dan hafalan. Metode wethonan adala: metode kuliah dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu. Istilah weton bersala dari kata waktu yaitu jawa yang bebrarti waktu; karena pengjian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan shalat fardhu. Dijawa barat, metode ini di sebut dengan bandongn; sedangkan di Sumatra di sebut dengan khalakah.
          Metode sorogan ialah: suatu metode dimana santri menghadaop guru atau kiai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Kiai membacakan dan menerangkan kalimat demi kalimat, kemudian menerangkan waktunya. Santri menyimak bacaan kiai dan mengulangi sampai memahaminya, kemudian kiai mengesahkan, jika santri sudah benar-benar mengerti, dengan memberikan catatan pada kitabnya, untuk mensahkan bahwa ilmu itu telah diberika kiai kepadanya. Pengajian dengan metode ini merupakan pelimpahan nilai-nilai debagi proses delivery of culture dipesantren dengan istilah mentorsif. Metode sorogan ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan islam tradisional, sebabs istem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi santri. Kendati pun demikian, metode demikian paling intensif karena dilakukan seorang demi seoarng dan ada kesempatan untuk Tanya jawab langsung.
          Metode hafalan ialah suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat teretentu dari kitab yang dipelajari. Biasanya cara menghafal ini diajarkan dalam bentuk syair atau nasham. Dengan cara ini memudahkan santri unutk menghafal, baik ketika sedang belajar maupun disaat berada diluar jam belajar.

2.  Jenjang pendidikan
          Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai system klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinnya. Apabila seorang santri telah menguasai satu kitab atau beberapa kitab dan telah lulus ujian yang diuji oleh kiainya, maka ia berpindah kekitab lain.
Jadi, jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal, tetapi pada penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Sebagai gamabaran lebih lanjut, kita akan mendalami secara khusus salah satu cabang ilmu, misalnya ilmu hadit. Dijawa, mislanya seorang santri untuk memperoleh spesialisasi, selain mendatangi seorang kiai besar juga harus mencari pesantren tertentu karena setiap pesantren memiliki keunikan, dan dengan begitu menjadi karakteristiknya. Adannya bidang-bidang khusus yang merupakan focus masing-masing pesanytren dapat menarik minat para santri unutk memilih bidang-bidang yang diminati. Hala ini menunjukkan keanekaragaman bidang nkajian di pesantren-pesantren dimana antara satu dengan yang lainnya tidak ada kesamaan. Secara umum dapt dipahami bhawa setiap pesantren memeberikan porsi yang kebih besar pada bidang-bidang tertentu sebagai kehasan bidang yang dimilikinya dan sekaligus dia dikenala karena kekhususanya itu.

3.  Fungsi pesanteren
          Pesantren tidak hanya berfungsi sebagi lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga social dan penyiaran agama. Sebagai lembaga pendidika, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal dan pendidikan nonformal yang secara khusus mengajarakan agama yang sangat kuat dipengaruhi oelh pikiaran-pikiran ulama fiqh, hadist, tafsir, tauhid, dan tasawuf. Sebagai lembaga social, pesantren menampung anak-anak dari segala lapisan masyarakat muslim, tanpa membedakan tingkat social ekonomi mereka. Sementara itu, setiap hari menerima tamu yang dating dari masyarakat umum, baik dari masyarakat sekitar maupun dari masyarakat jauh. Mereka yagn datng bertamu mepunyai motif yang berbeda, ada yang ingi bersilaturahmi, ada yang berkonsultasi, meminta nasihat, do’a, dan lain-lain. Sebagai lembaga penyiaran agama islam, mesjid pesantren juga berfungsi sebagai mesjid umum, yakni sebagai tempat belajar agam dan ibadah bagi para jamaah.. masjid pesantren sering dipakai unutk pengajian, diskusi keagamaan, dan lain-lain. Selain itu, kiai dan santri-santri senior, berdakwah baik didalam kota maupun diluar bahkan sampai kedaerah-daerah pedalaman.
          Sehubungan dengan ketiga fungsi tersebut, pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan masyarkat umum. Masyarakat umum memandang pesantren sebagai komunitas khusus yang idealterutama dalam bidang kehidupan moral keagamaan. Karakteristik pesantren dilihat dari segi pungsinnya, dan memang sanagt berperan ditengah-tengah masyarakat, menjadikannya semakin eksis dan dapat diterima oleh semua kalangan.

4.  Prinsip-prinsip pendidikan pesantern
         Sesuai dengan fungsinya yang komperensif dan pendekatannya yang holistic, pesantren memiliki prinsip-prinsip utama dalam menjalankan pendidikannya ada 12 prinsip yang dipegang teguh pesantren:
1)Teosentrik
2)Suka rela dalam pengabdian


3)Kearifan
4)Kesederhanaan
5)Kolektifitas
6)Mengatur kegiatan bersama
7)Kebebasan terpimpin
8)Kemandirian
9)Pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi
10)Mengamalkan ajaran agama
11)Belajar dipesantren bukan untuk mencari ijazah
12)Restu kiai artinya semua perbuatan yang dilakukan olh setiap warga pesantren sangat bergantung dari kerelaan dan doa dari kiai
          Prinsip-prinsip pendidikan tersebut, agaknya merupakan nilai-nilai kebenaran universal dan pada dasarnya sama dengan nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat pada umumnya. Dengan nilai-nilai itu pula dipesantren senantiasa tercipta ketentraman, kenyamanan, dan keharmonisan.
          Kehidupan pesantren diwarnai dengan asketisme, yang dikombinasikan dengan kesediaan melakuikan segenap perintah kiai guna memperoleh berkah. Keberkahan ini tentu saja memberikan bekas pada jiwa seorang santri, dan bekas inilah yang pada gilirannya nanti akan membentuk sikap hiduopnya. Asketismr yang digunakan pesantren merpakan proyeksi pilihan ideal bagi pola kehidupan umum yang dilanda krisis, yang akhirnya menumbuhkan pesantren sebagai unit budaya yang berdiri terpisah dari kehidupan social. Pada waktu yang sama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Peranan ganda inilah yang sebenaranya dapat dikatakan menjadi cirri utama pesantren sebagai salah satu sub culture. Dalam menjalankan peranan ganda ini, pesantren terelibat dalam proses penciptaan nilai atau tata nialai yang memiliki dua unsure utama: peniruan dan pengekangan.
          Unsure pertama, yait peniruan adalah usaha yang dilakukan terus menerus secara sadar untuk memindahkan pola kehidupan para sahabat nabi dan para ulama salaf kedalam praktek kehidupan dipesantren. Pola kehidupan ini tercermin dalam ketaatan beribadah secara malsimal, penerimaan material yang relative serba kurang, dan kesadaran kelompok yang tinggi.
          Unsure kedua ialah pengekangan, yaitu penerapan kedisiplinan social yang ketat dipesantren. Kesetiaan tunggal pada pesantren adalah dasar pokok disiplin ini, sedangkan pengucilan yang dijatuhkan atas pembangkangannya merupakan konsekuensi mekanisme pengekangan yang digunakan. Pengusiran seorang santri adalah hukuman yang luarbiasa beratnya, karena ia mengandung imflikasi penolakan total oleh semua pihak, disamping kehilangan dukungan moral dari kiainya. Criteria yang biasa dipakai unutk mengukur kesetiaan seorang santri kepada pesantren adalah kesunguhannya dalam melaksanakan pola kehidupan yang tertera dalam literature fiqh dan tasawuf. Penyimpangan criteria ini dianggap sebagai ahli maksiat bagi santri yang dikucilkan, juga bagi santri yang tidak mau menaati norma-norma yang telah mengakar dalam pesantren.
Keterangan diatas semakin memperjelas karakteristik pesantren dilihat ari fungsinya. Dalam kehidupan social ia menjadi rujukan moral bagi masyarakat sekitarnya.

Kia sebagai pigur yang dihormati tidak saja karena kedalaman dan keluasan ilmunya tapi juga karena kepribadian dan akhlaknya. Disamping itu, prinsif keikhlasan dan kesetiaan santri kepada kiai dan lembaga serata kehidupan dilingkungan pesantren semakin mempertegas identitasnya ditengah kehidupan masyarakat banyak, dimana ia merupakan sub culture. Semua ini mencirikan pesantren sebagai wahan pembinaan moral yang handal, selain membimbing intelektual dan kultur islami juga.

5.  Sarana dan tujuan pesantrenkehidupan kiai dan santri
          Dalam bidang sarana, pesantren trsdisional ditandai oleh cirri khas kesederhanaanya. Sejak dulu lingkungan atau komplek pesantren sangat sederhana. Tentu saja kesederhanaan secara fisik sekarang telah berubah total. Banyak pesantren tradisional yang memiliki gedung yang megah. Namun kesederhanaan dapat dilihat dari sikap dan prilaku kiai dan santri serta sikap mereka dalam pergaulan sehari-hari. Sarana belajar, misalnya, masih dipertahankan sepertia sediakala. Dengan duduk diatas lantai dan ditempat terbuka dimana kiai menyampaikan pelajaran. Demikian juga tempat kediaman kiai yang tidak begitu mewah, tentu saja ada pengecualian. Kiai sekarang berbeda dengan kiai dulu; kalau dulu para kiai biasa berjalan kaki atau naik sepeda: tetapi kiai sekarang sudah terbiasa mengendarai mobil, bahkan mempuanyai mobil dan sopir pribadi. Begitu pula tempat kediaman santri yang masih sangat sederhana, terbuat dari kayu dengan fasilitas sekedarnya. Jiak dibandingkan dengan system sekolah dilihat dari segi sarana dan pra sarana pesantren tradisional jauh lebih sederhana. Mengenai tujuan pesantren, sampai kini belum ada suatu rumusan yang defenitip. Antara satu pesantren dengan pesantren yang lain terdapat perbedaan dalam tujuan, meskipun semangatnya sama, yakni untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat serata meningkatkan ibadah kepada Allah. Adanya keragaman ini menandakan keunikan masing-masing pesantren dan sekaligus menjadi karakteristik kemandirian dan indefendensinya. Tujuan pesantren yang dirumuskan dari hasil wawan cara dengan para pengasuh pesantren, dapat dijadikan rujukan dan secara umum sudah terwakili nilai-nilai yang dianut dipesantren. Tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dan lain-lain.

6.  Kehidupan kiai dan santri
          Pesantren adalah sebuah kehidupan yang unik sebagai mana dapat dilihat dari penampilan lahiriahnya. Pesantren adalah sebuah komplek dengan lokasi yang biasannya terpisah dari kehidupan sekitar. Dalam komplek itu berdiri bebrapa rumah kiai atau pengasuh pesantren, masjid sebagai tempat pengajaran diberikan, dan tempat penginapan santri. Corak kehidupan pesantren dapat dilihat dari struktur pengajaran yang diberikan. Dari sistematika pengajaran, dijumpai jenjang pengajaran yang berulang-ulang dari tingkat ketingkat seakan-akan tanpa akhir. Karakteristik kehidupan pesantren sangat berbeda dengan sitem pendidikan pad umumnya. Delapan cirri pendidikan pesantren:
1)Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya.
2)Kepatuhan santri kepada kiai


3)Hidup hemat dan sederhana
4)Kemanndirian amat terasa di pesantren
5)Jiwa tolong menolong
6)Disiplin
7)Berani menderita untuk mencapai tujuan
8)Pembrian ijazah

BAB III
3.1  Penutup
          Pesantren dalam sejarah perkembanganya telah memberikan andil yang besar dalam kewarisan tradisi keilmuan, penyiaran islam dan lain-lain. Ketika masyarakat islam sudah terbentuk, pendidikan dilaksanakan di masjid. Pada sisi lain, pesantren mempunyai keunikan dilihata dari unsure-unsur kelembagaannya. Sebuah pesantren tidak dapat dipisahkan dari masjid, rumaha kia, santri, asrama dan kajian kitab-kitab klasik secara mendalam. Sebagai lembaga pendidikan tradisional, pesantren tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik yang berbahasa arab.
          Demikianlah beberapa pemikiaran seputar pesantren, pesantren yang dikenal sebagai lembaga pendidikan memiliki ciri-ciri tersendiri dan menciptakan suasana keakraban serta persaudaraan adalah karakteristik pendidikan pesantren yang utama.
catatan kaki
[1]Zamakhssyari dhopier, tradisi pesantren (Jakarta: LP3ES, 1983) hal.18
[2]Dr. wahjoetomo, perguruan tinggi pesantren (Jakarta: gema insane pers, 1997), hal.5
[3]Sorgada poerbakawatja, pendidikan, hal.18
[4]Mahmud yunus, sejarah pendidikan islam,(Jakarta: hida karya agung, 1993), hal. 31
[5]Kunto wijoyo, budaya dan masyarakat, Yogyakarta: PT. tiara wacana, 1987, hlm.44; martin fan bruinessen,kitab kuning, pesan trend an tarekat; tradisi-tradisi islam di Indonesia, Bandung: mizan1994, hlm. 133

DAFTAR PUSTAKA

Zamakhssyari dhopier, tradisi pesantren (Jakarta: LP3ES, 1983) hal.18
Dr. wahjoetomo, perguruan tinggi pesantren (Jakarta: gema insane pers, 1997), hal.5
Sorgada poerbakawatja, pendidikan, hal.18
Mahmud yunus, sejarah pendidikan islam,(Jakarta: hida karya agung, 1993), hal. 31
Kunto wijoyo, budaya dan masyarakat, Yogyakarta: PT. tiara wacana, 1987, hlm.44; martin fan bruinessen,kitab kuning, pesantren dan tarekat; tradisi-tradisi islam di Inidonesa, Bandung: mizan1994, hlm. 133
Nata Abuddin, sejarah pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan islam pendidikan, Jakarta: 2001, PT. gramedia widia sarana.










Jumat, 01 Oktober 2010

LOWONGAN KERJA

Dicari:
distributor buku buku
agama
umum
kmik bekas
majalah bekas
bubu buku kuliah
untuk daerah ciamis banjar tasik