Juli 16, 2009 pukul 3:41 pm | Ditulis dalam Sejarah
| 28 Komentar
Shiffin merupakan sebuah wilayah berada
di antara Kufah dan Syam. Di tempat itulah terjadi pertempuran antara pendukung
Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Banyak pihak yang masih menilai
bahwa perang tersebut disebabkan perebutan kekuasaan antara kedua sahabat
muliya itu. Padahal kalau merujuk kembali sejarah yang ditulis para ulama,
prasangka buruk tidaklah benar. Dan yang tidak pula kalah pentingnya, bahwa
sebenarnya kadua sahabat tersebut beserta mayoritas umat Islam yang hidup di
masa itu sama sakali tidak menginginkan pertumpahan darah, pengikut Abdullah
bin Saba’ lah yang sebenarnya menjadi pemantiknya. Untuk mengetahui lebih
detail mengenai persoalan itu, silahkan menyimak.
Dari Dendam terhadap
Muawiyah Bermula
Peristiwa perang Shiffin tidak berdiri
sendiri, dendam lama pengikut Abdullah bin Saba’ terhadap Muawiyah adalah
faktor yang cukup menentukan.
Gerakan makar yang dilakukan Abdullah
bin Saba’ beserta pendukungnya sudah terjadi sejak zaman Khalifah Utsman. Gerakan
khas yang banyak mereka lakukan adalah menjelek-jelekkan citra pejabat negara,
dan menyebarkannya di tengah-tengah rakyat, hingga mereka tidak munyukai para
pemimpin mereka. Amru bin Ash, gubernur Mesir adalah sasaran pertama, hingga
beliau diturunkan dari jabatannya. Selanjutnya, ”kelompok Mesir” mengajak para
pendukungnya yang sudah tersebar di Syam, Kufah dan Bashrah untuk melawan
gubernur mereka, tapi hanya ”kelompok Kufah yang bangkit, hingga Said bin Ash,
pun turun dari jabatannya. Selanjutnya, dari Kufah bergeser menuju Mawiyah yang
berada di Syam. Akan tetapi, upaya mereka untuk menjatuhkan Muawiyah tidak
mampu mereka laksanakan, dan beliau tetap memimpin wilayah Syam walau
selanjutnya mereka berhasil membunuh Khalifah Utsman.
Muawiyah telah menjabat sebagai gubernur
di Syam sejak masa Khalifah Umar bin Al Khattab. Di masa Utsman menjadi
khalifah, Muawiyah tetap menjadi gubernur wilayah itu. Keadaan ini tetap
berlangsung hingga Ali bin Abi Thalib dibaiat penduduk Madinah, tidak lama
setelah Ustman terbunuh oleh kelompok Saba’iyah (pengikut Abdullah bin Saba’).
Posisi Gubernur Muawiyah terjaga dari
gerakan ”makar Sabaiyah” disebabkan ada beberapa hal yang mendukung, yakni,
bahwa di wilayah itu banyak tinggal para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam (SAW), seperti Muadz bin Jabal, Ubadah bin As Shamit, Abu Darda, Abu
Siad Al Khudri, Syadad bin Aus, Nu’man bin Bashir, Fudhalah bin Ubaid dan yang
lainnya. Dengan demikian, penduduk Syam lebih mudah memperoleh pemahaman Islam
yang baik, di bawah bimbingan para sahabat tersebut, sehingga tidak mudah
terpengaruh oleh hasutan Khawarij Saba’iyah. Selain itu, kedekatan Muawiyah
dengan rakyat Syam juga mempersulit gerakan makar ini.Apalagi Muawiyah memahami
kerakter kelompok ini, karena beliau pernah berhadapan dengan mereka di saat
Khalifah Utsman Masih hidup. “Telah keluar kepadamu sekelompok penduduk Kufah,
untuk membuat fitnah, hadapilah mereka. Jika mereka burbuat baik-baik
terimalah, akan tetapi jika mereka melemahkanmu, maka kembalikan ke Kufah”,
pesan Utsman kepada Muawiyah, sebagaimana dicatat dalam Tarikh At Thabari
(5/138).
Benar adanya, mereka datang kepada
Muawiyah, dan meminta agar Muawiyah melepas jabatannya. Muawiyah
menjawab,”Seandainya ada orang lain yang lebih mampu daripada saya, maka saya
dan yang lainnya tidak menduduki jabatan ini. Jangan tergesa-gesa, karena hal
ini mirip apa yang diharapkan syetan”. Kamudian mereka dikeluarkan dari Syam.
Dan setelah wafatnya Utsman, kelompok
inilah yang pertama-tama membaiat Ali bin Abi Thalib. Rupanya, kesegeraan
mereka melakukan bai’at, memiliki misi tersembunyi, yang perlahan-lahan
tersingkap setelah nanti berbagai peristiwa yang berkenaan dengan sahabat Ali
bin Abu Thalib dan Muawiyah terjadi.
Permulaan Perselisihan antara Ali dan
Muawiyah
Sebenarnya tidak ada perselisihan antara kedua sahabat Rasulullah sebelumnya, akan tetapi yang ada malah perselisihan antara pengikut Abdullah bin Saba’ dan Muawiyah, disebabkan Muawiyah amat getol menyerukan dilakukannya hukuman hadd kepada mereka, atas terbunuhnya Utsman dan beliau yang membuka berhasil membuka kedok kelompok pembuat makar tersebut.
Sebenarnya tidak ada perselisihan antara kedua sahabat Rasulullah sebelumnya, akan tetapi yang ada malah perselisihan antara pengikut Abdullah bin Saba’ dan Muawiyah, disebabkan Muawiyah amat getol menyerukan dilakukannya hukuman hadd kepada mereka, atas terbunuhnya Utsman dan beliau yang membuka berhasil membuka kedok kelompok pembuat makar tersebut.
Dan kelompok ini sudah bergabung dalam
barisan Ali bin Abi Thalib. Sehingga Dr. Hamid Muhammad Khalifah, dalam buku
beliau Al Inshaf (hal.418), menyebutkan,”Sesungguhnya sebab-sebab yang membuat
meruncingnya hubungan Ali dan Muawiyah adalah adanya para ”provokator” dalam
barisan Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang ingin memerangi Muawiyah.”
Perselisihan dimulai setelah Ali
memutuskan untuk mengganti Muawiyah dengan sahabat Sahl bin Hunaif. Pengganti
yang telah ditunjuk tersebut bersama rombongan pergi Syam. Sesampai di wilayah
Tabuk, sejumlah pasukan Muawiyah menemui rombongan itu dan meminta mereka
kembali. Mengetahui demikian, Ali mengirim surat kepada gubernur Syam itu, akan
tetapi surat itu tidak dibalas, hingga tiga bulan setelah syahidnya Utsman.
Sampai akhirnya Muawiyah mengutus
Qubishah Al Abasi, untuk menyampaikan kepada Amir Al Mukminin Ali, bahwa alasan
penduduk Syam tidak melakukan baiat, karena mereka meminta agar pelaku atas
pembunuhan Utsman diadili. Ali pun mengatakan,”Ya Allah sesungguhnya saya
berlepas diri kepada Engkau dari darah Utsman,”
Setelah Qubishah keluar, kaum Saba’yah
mengatakan,”Ini anjing, ini adalah utusan anjing, bunuhlah ia!” Saat itu
kelompok ini mengerumuni Qubishah, akan tetapi Bani Mudhar mencegah mereka,
sebagaimana disebut dalam Tarikh At Thabari (5/215).
Periwayatan ini menjukkan bahwa kaum
Saba’iyah memang masih menyimpan dendam, karena gagal menjatuhkan Muawiyah dari
jabatannya sebagai gubernur Syam untuk ke sekian kalinya.
Di saat Ali berada di Bashrah saat
terjadi perang Jamal, disebutkan Imam Al Bukhari dalam At Tarikh As Saghir
(1/102), bahwa Imam Ali berada di wilayah itu hanya satu bulan, dan tidak
berniat keluar menuju Syam, kecuali setelah ada desakan dari Saba’iyah.
Dalam At Tarikh At Thabari (5/282)
disebutkan,”Saba’iyah inginkan Ali segera meninggalkan Bashrah, hingga mereka
melakukan perjalanan tanpa meminta izin kepadanya. Sebab itulah Ali mengikuti
jejak mereka, guna menyingkap apa kemauan mereka, dan itulah yang sebenarnya
yang mereka inginkan.”
Al Asytar dan Ali bin Abi Thalib
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa dalam barisan Khalifah Ali bin Abi Thalib ada kelompok ”provokator”, salah satu dari pemimpin mereka adalah seorang laki-laki yang bernama Al Asytar An Nakhai. Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa sebelum meninggalkan Bashrah, Ali bin Abi Thalib menunjuk Ibnu Abbas untuk ”memegang” wilayah itu. Al Asytar An Nakhai tidak menerima keputusan Amir Al Mukminin tersebut, dengan penuh amarah ia pergi meninggalkan beliau, sebagaimana tertulis dalam Tarikh At Thabari (5/239).
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa dalam barisan Khalifah Ali bin Abi Thalib ada kelompok ”provokator”, salah satu dari pemimpin mereka adalah seorang laki-laki yang bernama Al Asytar An Nakhai. Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa sebelum meninggalkan Bashrah, Ali bin Abi Thalib menunjuk Ibnu Abbas untuk ”memegang” wilayah itu. Al Asytar An Nakhai tidak menerima keputusan Amir Al Mukminin tersebut, dengan penuh amarah ia pergi meninggalkan beliau, sebagaimana tertulis dalam Tarikh At Thabari (5/239).
Bahkan kelompok Al Asytar sempat juga
mengancam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana tertulis dalam Tarikh At Thabari
(6/40), tatkalah salah satu sahabat Al Asytar, Al Asy’as bin Qais berkata
kepada beliau,”Apakah kita hanya memperhatikan hukuman Al Asytar?” Amir Al
Mukminin menjawab,”Apa hukumannya?” Al Asy’as berkata,”Hukumannya adalah
timbulnya peperangan antara kita.” Beliau menjawab,”Tidakkah ada yang membakar
bumi, kecuali Al Asytar?”
Sesampainya di Kufah, Amir Al Mukminin
mengutus sahabat Jarir bin Abdullah Al Bajali kepada Muawiyah, untuk kembali
menyeru agar Muawiyah melakukan baiat, dan memberi kabar bahwa kalangan
Muhajirin dan Anshar telah membaiatnya, sebagaimana disebut dalam Al Bidayah wa
An Nihayah (7/265).
Sekali lagi, Al Asytar tidak menyukai
sikap yang diambil oleh Amir Al Mukminin ini, dikarenakan kemulyaan akhlak yang
dimiliki Jarir. Utusan ini kembali ke Kufah dengan memberi kabar, bahwa
Muawiyah enggan melakukan baiat, dikarenakan belum ditegakkan hukum hadd kepada
si pembunuh Utsman. Jika ditegakkan hadd, maka beliau bersedia melakukan baiat.
Mendengar penuturan Jarir, Al Asytar
mengatakan kepada Amirul Mukminin, ”Bukankah saya telah melarangmu untuk
mengutus Jarir? Kalau engkau mengutusku, maka Muawiyah tidak akan membuka
pintu, kecuali aku yang menutupnya.”
Mendengar ucapan Al Asytar, Jarir
membalas,”Kalau engkau yang datang, mereka akan membunuhmu, disebabkan
terbunuhnya Utsman.”
Al Asytar tidak mau kalah, ”Kalau Amir
Al Mukminin mematuhiku, maka ia akan mengurungmu, beserta orang-orang
sepertimu, hingga perkara ini menjadi lebih baik.”. Jarir marah, hingga belau
mememutukan untuk keluar dari Kufah, menuju Firqisiya’ wilayah yang pernah
beliau pimpin saat menjadi gubernur di masa Utsman, kisah ini disebutkan dalam
kitab Al Bidayah wa An Nihayah (7/294).
Sikap buruk yang membuat sahabat Jarir
keluar di atas menunjukkn bahwa para pembesar pembuat fitnah sudah berada dalam
tubuh kekhalifahan. Dan peristiwa ini juga menunjukkan bagaiamana usaha mereka
untuk selalu menggagalkan usaha perdamaian.
Bukan Perebutan Kursi
Kekuasaan
Ada pihak yang menilai bahwa perang Shiffin terjadi karena perebutan kekuasaan antara Ali dan Muawiyah, sayang sekali pandangan ini tidak memiliki dasar kuat
Ada pihak yang menilai bahwa perang Shiffin terjadi karena perebutan kekuasaan antara Ali dan Muawiyah, sayang sekali pandangan ini tidak memiliki dasar kuat
Setelah kembalinya utusan Amir Al
Mukminin dari Syam, dan gamblangnya pendirian penduduk Syam, bahwa mereka
enggan melakukan baiat, kecuali dilaksanakan hukuman hadd atas pelaku
pembunuhan Utsman. Maka, eksistensi kelompok Saba’iyah semakin terncam, karena
merekalah yang berdiri di balik peristiwa tragis itu.
Tidak ada cara lain bagi mereka, kacuali
mendesak Amirul Mukminin untuk menghadapi Muawiyah. Disebutkan dalam Al Bidayah
wa An Nihayah (8/10),”Maka para tokoh yang secara langsung terlibat pembunuhan
Utsman,yang berada di sekitar Ali bin Abi Thalib, memberi saran, agar beliau
memecat Muawiyah dari jabatannya sebagai gubernur Syam.”
Saat itu Amir Al Mukminin pun melihat
bahwa pelaksanaan hadd tidak bisa dilakukan kacuali setelah baiat bisa
diselesaikan, apalagi para pelakunya berkeliaran di sekitar beliau dan jumlah
mereka pun banyak, ini semakin menyulitkan posisi beliau.
Mayoritas Umat Tak
Menghendaki Perang
Sudah maklum, bahwa umat Islam di masa peperangan Siffin adalah generasi yang amat dekat dengan masa Rasulullah (SAW), dimana mereka amat memahami, bagaimana berinteraksi dengan sesama Muslim, hingga mayoritas umat Islam, baik di Syam maupun Kufah, bahkan Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib sebenarnya sama-sama menghindari adanya pertumpahan darah.Hal ini bisa dilihat, bagaimana usaha mereka dalam berunding, menghindari peperangan dan usaha penduduk Kufah yang menghalangi jalannya pasukan Khalifah menuju Syam.
Sudah maklum, bahwa umat Islam di masa peperangan Siffin adalah generasi yang amat dekat dengan masa Rasulullah (SAW), dimana mereka amat memahami, bagaimana berinteraksi dengan sesama Muslim, hingga mayoritas umat Islam, baik di Syam maupun Kufah, bahkan Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib sebenarnya sama-sama menghindari adanya pertumpahan darah.Hal ini bisa dilihat, bagaimana usaha mereka dalam berunding, menghindari peperangan dan usaha penduduk Kufah yang menghalangi jalannya pasukan Khalifah menuju Syam.
Diriwayatkan dalam Al Bidayah wa An
Nihayah (7/267), bahwa Imam Ali telah mengirimkan pasukan pembuka, yang
berjumlah 8 ribu tentara. Pasukan ini menuju Syam dengan melewati sisi kanan
sungai Eufrat, sedangkan pasukan Khalifah melewat sisi kirinya. Karena khawatir
adanya serangan dari Muawiyah, disebabkan sedikitnya jumlah mereka, maka
pasukan ini berancana bergabung dengan pasukan Khalifah di seberang, dengan
melalui penyeberangan di wilayah ‘Anat, akan tetapi apa yang terjadi, penduduk
kota wilayah itu menghalangi mereka. Tidak bisa melalui ‘Anat, pasukan hendak
melalui penyeberangan lainnya, yang berada di wilayah Hiit, akan tetapi,
seperti yang sudah-sudah, mereka dihalangi oleh penduduk setempat. Akhirnya,
mereka terlambat, dan bertemu dengan pasukan Ali yang sudah berada di depan
mereka.
Selanjutnya penduduk Qirqisiya’
menghalangi pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib itu, sedangkan penduduk Ar
Riqah mengumpulkan seluruh perahu mereka dan enggan membantu pasukan itu
menyeberang menuju Shiffin, hingga mereka memutuskan untuk menyeberang di
wilayah Manbaj.
Sikap Khalifah Ali yang lemah lembut
terhadap mereka yang menghalangi perjalanan pasukannya menunjukkan bahwa tujuan
utama bukanlah menumpahkan darah, akan tetapi melakukan ishlah. Hal ini berbeda
dengan yang dilakukan Al Asytar, yang juga berada dalam barisan yang sama,
terhadap mereka yang enggan membantu penyeberangan ia mengancam”Jika tidak
kalian lakukan, aku benar-benar akan membunuh para laki-laki, merusak tanah
atau mengambil harta.” Riwayat ini termaktub dalam Tarikh At Thabari (5/229).
Awal mulanya, Khalifah masih mempercayai
Al Asytar, karena tidak menilai, bahwa pria itu adalah salah satu pembunuh
Utsman, walau ia adalah salah satu pemimpin Khawarij. Akan tetapi ada indikasi
bahwa akhirnya beliau merubah pandangan tersebut. Diceritakan Al Hakim dalam Al
Mustadrak (3/107), bahwa saat itu, penduduk Nakha’ berkumpul di dalam rumah Al
Asytar. Ali bin Abi Thalib menyeru kepada mereka,”Apakah di dalam rumah hanya
ada Al Asytar?” Mereka menjawab, ”tidak.” Khalifah kembali mengatakan,”Umat ini
bersandar kepada kaluarga yang paling baik, akan tetapi mereka telah
membunuhnya (Utsman). Sesungguhnya kami memerangi Bashrah karena baiat yang
kami takwilkan, sedangkan kalian bergerak menuju sebah kaum yang kami tidak
dibaiat oleh mereka (Syam), handaklah setiap orang melihat, dimana pedang harus
diletakkan.”
Dialog di atas menunjukkan bahwa Amirul
Mukminin telah memperingatkan Al Asytar, mengenai keputusannya untuk pergi ke
Shiffin, dan menjelaskan bahwa tidak perlu dilakukan pertempuran di sebuah
wilayah yang tidak terikat oleh Baiat, semisal Syam.
Niatan Amirul Mukminin untuk tidak
mengutamakan kekuatan senjata didukung dengan riwayat yang ditulis oleh Ibnu
Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah (8/127) yang menyebutkan, bahwa Khalifah
Ali mengirim utusan ke Damaskus untuk membawa pesan kepada penduduk Syam, bahwa
beliau telah berdiri di atas rakyat Iraq untuk ingin mengetahui ketaatan
penduduk Syam terhadap Muawiyah. Ketika perkara itu sampai kepada Muawiyah, beliau
naik mimbar masjid dan mengatakan kepada jama’ah,”Sesungguhnya Ali telah
berdiri di penduduk Iraq untuk kalian. Apa pendapat kalian?” Para jama’ah tidak
berkata-kata, hingga seorang ada yang mengatakan,”Anda yang berfikir, kami yang
melaksanakan.” Akhirnya Muawiyah memerintahkan agar mereka bersiap-siap
membentuk pasukan menjadi 3 bagian.
Setelah itu, kembalilah utusan menuju
Khalifah Ali bin Abi Thalib lalu mengabarkan, apa yang terjadi di Syam. Ali
akhirnya naik mimbar dan mengatakan kepada jama’ah,”Muawiyah telah mengumpulkan
pasukan untuk memerangi kalian, apa pendapat kalian?” Semua hadirin terheran
dan berbiacara satu sama lain. Khalifah Ali akhirnya turun dari mimbar, dengan
mengatakan,”la haula wa la quwwata ila billah.”
Kenapa Ali Tak Segera Menghukum Para Pembunuh Utsman?
Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/242) setelah menjelaskan, bahwa kaum yang ikut serta membunuh Utsman termasuk kelompok awal yang ikut mambaiat Ali bin Abi Thalib, beliau mengatakan,”Padahal Ali membenci mereka, dan berusaha menghindar dari kelompok tersebut serta sangat menginginkan agar beliau bisa menundukkan mereka, hingga hak Allah bisa ditegakkan hak Allah (yakni hukuman hadd).”
Kenapa Ali Tak Segera Menghukum Para Pembunuh Utsman?
Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/242) setelah menjelaskan, bahwa kaum yang ikut serta membunuh Utsman termasuk kelompok awal yang ikut mambaiat Ali bin Abi Thalib, beliau mengatakan,”Padahal Ali membenci mereka, dan berusaha menghindar dari kelompok tersebut serta sangat menginginkan agar beliau bisa menundukkan mereka, hingga hak Allah bisa ditegakkan hak Allah (yakni hukuman hadd).”
Disebutkan juga oleh Ibnu Katsir bahwa,
setelah Ali dibaiat, para tokoh sahabat beserta Thalhah dan Zubair menemui
beliau dan meminta agar dilaksanakan hukuman kepada para pembunuh Utsman. Ali
menyatakan udzur untuk melaksanakan hal itu di waktu itu, karena kekuatan
mereka yang besar dan memiliki pendukung. Bahkan Ali meminta kepada Zubair
untuk memerintah Kufah dan Thalah untuk memerintah Bashrah, dan beliau siap
membekali keduanya dengan pasukan, agar bisa memperkuat dalam menghadapi
kekuatan kaum Khawarij.
Akhirnya, para sahabat, termasuk Thalhah
dan Zubair mendatangi lagi Ali, setelah menunggu beberapa waktu dan melihat
Khalifah belum melakukan ”apa-apa” untuk menghukum kaum Khawarij. ”Wahai
saudaraku, bukannya saya tidak mengerti masalah itu, akan tetapi apa yang mampu
saya perbuat atas sebuah kaum yang menguasai kita akan tetapi kita tidak
menguasa mereka? Mereka berada di sekitar kalian, sesuka hati mereka, apakah
kalian melihat ada peluang untuk melakukan hal yang kalian inginkan?” Mereka
menjawab,”Tidak”. Ali mengatakan,”Tidak, demi Allah saya tidak melihat, kacuali
apa yang telah kalian lihat insyaallah.”
Jelas, dari penjelasan di atas, tidak
diragukan lagi, Ali sendiri berkeinginan untuk menegakkan hadd kepada para
pembunuh Utsman, tapi beliau merasa kesulitan, karena mereka sendiri berada di
sekeliling khalifah, dan kekuatan mereka tidak bisa diremehkan, hingga para
sahabat pun mengakui hal tersebut.
Upaya Perdamaian di
Shiffin
Setelah pasukan Syam dan Kufah sampai di wilayah Shiffin, kedua pihak mengambil posisi masing-masing. Utusan keduanya sibuk melakukan perundingan, dengan mengharap pertempuran bisa terhindar.
Setelah pasukan Syam dan Kufah sampai di wilayah Shiffin, kedua pihak mengambil posisi masing-masing. Utusan keduanya sibuk melakukan perundingan, dengan mengharap pertempuran bisa terhindar.
Dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/272)
disebutkan bahwa Abu Muslim Al Khaulani beserta beberapa orang mendatangi
Muawiyah dengan mengatakan,”Apakah engkau melawan Ali ataukah engkau juga
sepertinya?” Muawiyah menjawab, ”Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar
mengatahui kalau ia (Ali) lebih baik dariku, lebih utama dan lebih berhak dalam
masalah ini (kekhalifahan) daripada aku. Akan tetapi bukanlah kalian mengetahui
bahwa Utsman terbunuh dengan keadaan terdhalimi, sedangkan saya adalah
sepupunya yang berhak meminta keadilan. Katakan kepadanya, agar ia menyerahkan
pembunuhnya, maka saya menyerahkan persoalan ini kepadanya.
Diriwayat yang lain juga disebutkan,
bahwa Abu Darda’ dan Abu Umamah mendatangi Muawiyah, dengan isi percakapan yang
hampir sama dengan riwayat sebelumnya. Setelah itu keduanya kembali kepada Ali
bin Abi Thalib, dan beliau mengatakan,”Mereka adalah orang-orang yang kalian
maksudkan.” Maka keluarlah banyak orang, dan mengatakan,”Kami semua yang telah
membunuh Utsman, siapa yang berkehendak maka silahkan dia melemparkan kami.”
Dalam Minhaj As Sunnah (4/384) juga
dinukil bagaimana sikap para pendukung Muawiyah, mangapa mereka tidak membaiat
Ali.”Kami jika membaiat Ali, maka pasukannya akan mendhalimi kami, sabagaimana
mereka mendhalimi Utsman, sedangkan Ali tidak mampu melakukan pembelaan
terhadap kami.”
Dari periwayatan di atas semakin jelas,
bahwa memang kedua belah pihak, baik Ali dan Muawiyah tidak berselisih mengenai
jabatan kekhalifahan, dan keduanya memang tidak bermaksud menyerang satu sama
lain, kecuali pihak pengikut Saba’iyah yang berada di barisan Amirul Mukminin,
yang selalu menginginkan adanya konflik antara Ali dan Muawiyah. Dan Muawiyah
tetap berdiri tegak guna melawan para pengiku Abdullah bin Saba’ yang berada
dalam pasukan Khalifah.
Khawarij yang Berbalik
”Menikam” Khalifah
Berbagai upaya menghentikan peperangan
dilakukan kedua belah pihak, tapi kaum Saba’iyah terus berusaha memantiknya
Para utusan terus melakukan perundingan,
dan pasukan kedua belah pihak sama-sama menahan diri untuk melakukan serangan,
hingga berakhirnya bulan-bulan haram di tahun itu (37 H). Pasukan Kufah menyeru
kepada pasukan Syam, ”Amir Al Mukminin telah menyeru kepada kalian, aku telah
memberi tenggang waktu untuk kalian, agar kembali kepada al haq, dan saya telah
menegakkan atas kalian hujah, akan tetapi kalian tidak menjawab…”
Pasukan Syam menjambut seruan itu,
dengan mempersiapkan diri di shafnya masing-masing. Pada hari Rabu, tanggal 7
pada bulan Safar, pertempuran berlangsung pada hari Rabu, Kamis, Jumat serta
malam Sabtu. Dalam Al Aqdu Al Farid (4/3140) disebutkan bahwa kdua pihak
bersepakat bahwa mereka yang terluka harus dibiarkan, begitu pula mereka yang
melarikan diri tidak boleh dikejar, mereka yang meletakkan senjata akan aman,
tidak boleh mengambil benda milik mereka yang meninggal, serta mereka mendoakan
dan menshalati jenazah yang berada di antara kedua belah pihak.
Mayoritas sahabat tidak ikut serta dalam
pertempuran ini. Pada saat itu jumlah mereka sekitar 10 ribu, akan tetapi yang
ikut serta tidak lebih dari 30 sahabat saja, sebagaimana riwayat yang
disebutkan dalam Minhaj As Sunnah (6/237).
Riwayat mengenai jumlah pasukan yang
terbunuh di kedua belah pihak berbeda satu sama lain, akan tetapi Ibnu Katsir
menyebutkan dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/288) bahwa pasukan Kufah
berjumlah 120 ribu orang, terbunuh 40 ribu, sedangkan pasukan Syam berjumlah 60
ribu, dan yang terbunuh dari mereka 20 ribu orang.
Terbunuhnya Amar bin Yasir
Peristiwa terbunuhnya sahabat Amar bin Yasir dalam pertempuran Shiffin memberi pengaruh amat besar bagi kedua belah pihak, dimana sebelumnya Rasulullah (SAW) telah berkata kepada Amar, bahwa ia tidak meninggal, kecuali terbunuh di antara dua kelompok orang-orang mukmin, sebagaimana disebutkan Al Bukhari dalam Tarikh As Saghir (1/104).
Terbunuhnya Amar bin Yasir
Peristiwa terbunuhnya sahabat Amar bin Yasir dalam pertempuran Shiffin memberi pengaruh amat besar bagi kedua belah pihak, dimana sebelumnya Rasulullah (SAW) telah berkata kepada Amar, bahwa ia tidak meninggal, kecuali terbunuh di antara dua kelompok orang-orang mukmin, sebagaimana disebutkan Al Bukhari dalam Tarikh As Saghir (1/104).
Sedangkan Amru bin Ash, sahabat yang
bergabung dalam barisan Muawiyah pernah mendengar bahwa Rasulullah bersabda
mengenai Amar bin Yasir, sebagaimana termaktub dalam Al Majma’ Az Zawaid
(7/244) ”Sesungguhnya orang yang membunuh dan mengambil hartanya (sebagai
ghanimah) akan masuk neraka.” Lalu ada yang mengatakan kepadanya,”Sesungguhnya
engkau yang memeranginya!” Amru bin Ash menjawab,”Sesungguhnya yang disabdakan
adalah pembunuh dan perampas hartanya.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa memang
kedua belah pihak mengetahui keutamaan masing, masing dan tidak ada kesengajaan
untuk berniat saling membunuh.
Meninggikan Mushaf
Bisa dikatakan bahwa peristiwa penting dalam perang Shiffin adalah pangangkatan tinggi-tinggi mushaf Al Qur`an, hingga pertempuran itu berakhir. Disebutkan dalam beberapa periwayatan bahwa ketika pertempuran berlangsung amat sengit banyak para ulama yang menyeru, baik dalam barisan pasukan Syam maupun Kuffah,”Jika kita besok baru berhenti (bertenpur) maka Arab akan sirna, dan hilangnya kehormatan…”
Bisa dikatakan bahwa peristiwa penting dalam perang Shiffin adalah pangangkatan tinggi-tinggi mushaf Al Qur`an, hingga pertempuran itu berakhir. Disebutkan dalam beberapa periwayatan bahwa ketika pertempuran berlangsung amat sengit banyak para ulama yang menyeru, baik dalam barisan pasukan Syam maupun Kuffah,”Jika kita besok baru berhenti (bertenpur) maka Arab akan sirna, dan hilangnya kehormatan…”
Muawiyah yang juga mendengar khutbah itu
membenarkan,”Benar, demi Rabb Ka’bah, jika kita masih berperang esok, maka
Romawi akan mengincar para wanita dan keturunan kita. Sedangkan Persia akan
mengincar para wanita dan ketururnan Iraq. Ikatlah mushaf-mushaf di ujung
tombak kalian.”
Maka saat itu, pasukan Syam
menyeru,”Wahai pasukan Iraq diantara kami dan kalian adalah Kitabullah!”
Muawiyah memerintahkan seorang utusan untuk menghadap kepada Khalifah Ali bin
Abi Thalib, ”Iya, diantara kami dan kalian adalah Kitabullah, dan kami telah
mendahulukan hal itu.” Jawab beliau.
Akan tetapi, sebagaimana yang terjadi
sebelumnya, para pengikut Abdullah bin Saba’ enggan menerima usulan untuk
berdamai, mereka ingin agar Khalifah Ali meneruskan pertempuran. Diriwayatkan
Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf (8/336) bahwa kaum Khawarij mendatangi Ali
bin Abi Thalib, dengan pedang di atas pundak mereka,”Wahai Amir Al Mukminin,
tidakkah sebaiknya kita menyongsong mereka, hingga Allah memberi keputusan
antara kita dan mereka.” Usulan ini ditentang keras oleh sahabat Sahl bin
Hunaif Al Anshari. ”Tuduhlah diri kalian! Kami telah bersama Rasulullah (SAW)
saat peristiwa Hudaibiyah. Kalau sendainya kami berpendapat akan berperang,
maka kami perangi (tapi kenyataannya mereka tidak berperang)”
Sahl juga menjelaskan bahwa setelah
perjanjian damai dengan kaum musyrikin itu turunlah surat Al Fath kepada
Rasulullah (SAW). Ali bin Abi Thalib pun menyambut pendapat Sahl, ”Wahai
manusia, ini adalah fath (hari pembebasan).” Seru Ali bin Abi Thalib, akhirnya
pertempuran itu pun berakhir.
Peristiwa Tahkim
Tahkim adalah penunjukkan dua pihak yang berselisih terhadap seseorang yang adil, dengan tujuan agar memberi keputusan terhadap dua pihak tersebut. Kedua pihak yang terlibat pertempuran Shiffin, yakni Ali dan Muawiyah telah sepakat memilih Abu Musa Al Asy’ari untuk menjadi penengah. Sesuai dengan yang ditulis oleh Ibnu Hibban dalam At Tsiqat (2/293), hasil tahkim berisi, bahwa Ali bin Abi Thalib ditetapkan membawahi wilayah Iraq dan penduduknya, sedangkan Muawiyah ditetapkan membawahi wilayah Syam beserta para penduduknya, tidak ada penggunaan senjata, dan hal ini berlaku dalm satu tahun. Jika sudah melewati masanya, kedua belah pihak bisa menolaknya, atau bisa memperpanjang. Dari kandungan tersebut, bisa disimpulkan bahwa Muawiyah tidak ada keharusan untuk membaiat Ali, bagitu juga Ali, tidak ada keharusan untuk menghukum pembunuh Utsman.
Tahkim adalah penunjukkan dua pihak yang berselisih terhadap seseorang yang adil, dengan tujuan agar memberi keputusan terhadap dua pihak tersebut. Kedua pihak yang terlibat pertempuran Shiffin, yakni Ali dan Muawiyah telah sepakat memilih Abu Musa Al Asy’ari untuk menjadi penengah. Sesuai dengan yang ditulis oleh Ibnu Hibban dalam At Tsiqat (2/293), hasil tahkim berisi, bahwa Ali bin Abi Thalib ditetapkan membawahi wilayah Iraq dan penduduknya, sedangkan Muawiyah ditetapkan membawahi wilayah Syam beserta para penduduknya, tidak ada penggunaan senjata, dan hal ini berlaku dalm satu tahun. Jika sudah melewati masanya, kedua belah pihak bisa menolaknya, atau bisa memperpanjang. Dari kandungan tersebut, bisa disimpulkan bahwa Muawiyah tidak ada keharusan untuk membaiat Ali, bagitu juga Ali, tidak ada keharusan untuk menghukum pembunuh Utsman.
Dengan demikian, tidak ada lagi peperangan
antara Syam dan Iraq, Muawiyah tetap tidak membaiat Ali, dan Ali pun tetap
tidak menghukum para pembunuh Utsman. Dan konflik pun bergeser antara Khalifah
Ali dengan Kaum khawarij, yang semula menjadi pendukung Amir Al Mukminin, yang
tidak menyukai perdamaian antara Iraq dan Syam. Lantas mereka mengisukan bahwa
Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak setuju dengan hasil yang telah
diputuskan.Hingga akhirnya beliau menegaskan,”Barang siapa mengira bahwa aku
tidak setuju dengan hasil tahkim, maka ia telah berbohong, barang siapa
berfikiran demikian maka ia telah sesat. Akhirnya kaum Khawarij keluar dari
masjid, dengan mengatakan,”la hukma illa lillah”, atau tidak ada hukum selain
hukum Allah. Sehingga ada yang mengatakan kepada Khalifah,”Mereka telah keluar
dari ketaatan terhadapmu.”Saya tidak akan memerangi mereka, hingga mereka
memerangi kami, dan mereka akan melakukannya.” Hal ini disebutkan Ibnu Abdi
Rabbih dalam Al Aqdu Al Farid (2/218).
Gerakan Khawarij tidak berhenti sampai
di sini, mereka masih tetap bernafsu tidak hanya membunuh Muawiyah, tapi
membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib serta Amru bin Ash. Ali bin Abi Thalib
menjadi incaran, karena mereka merasa bahwa kedok mereka sudah terbuka secara
sempurna dihadapan Khalifah, dan tidak ada yang bisa ditutupi dari gerakan
mareka. Dan pembunuhan itu masih belum sempurna, kacuali jika menyertakan
Muawiyah dalam terget serupa. Sedangkan Amru bin Ash ikut menjadi target,
karena beliau adalah musuh pertama kelompok ini, di saat beliau berkuasa di
Mesir, sehingga jika beliau tidak dibunuh, maka keberadaan beliau juga
berpotensi untuk mengancam gerakan kelompok ini, beliau tidak ada bedanya
dengan Muawiyah.
Ditugaskan tiga orang, untuk membunuh
tiga sahabt mulia itu, Ibnu Muljim, sahabat dekat Ibnu Saba’ dari kalangan Khawarij
menyerang Ali bin Abi Thalib di malam ke 17 dari bulan Ramadhan tahun 40 H,
dengan menebaskan pedang, hingga mengenai kening beliau. Setelah bertahan
selama dua hari, Khalifah Ali bin Abi Thalib akhirnya wafat. Sedangkan Al Burk
bin Abdullah Al Khariji, yang bertugas membunuh Muawiyah malah terbunuh
terlebih dahulu oleh beliau, dengan pedangnya sendiri. Sedangkan Amru bin
Bukair yang ditugaskan membunuh Amru bin Ash, malah membunuh salah satu
petugas, yang disangkanya sasarannya, hingga kedua sahabat itu selamat dari
pembunuhan.
Inilah peristiwa beruntun yang dilakukan
kelompok Abdullah bin Sabba’ terhadap para sahabat mulia, hingga terjadi fitnah
besar yang menyebabkan bertumpahnya banyak darah. Mudah-mudahan umat Islam bisa
mengambil ibrah dari rentetan peristiwa ini. Allahu’alam
bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar