web 2.0

Selasa, 21 September 2010

Butuh Kemauan Besar untuk Membuat Majalah Sekolah

Butuh Kemauan Besar untuk Membuat Majalah Sekolah
Oleh :Dian prayoga paradja

Kelihatannya sesuatu yang sederhana. Tidak perlu repot. Tidak perlu banyak pikir. Ikuti kegiatan di sekolah, amati, wawancarai nara sumber, dan tulis di kertas. Lalu, ketika di komputer. Setelah sekian berita didapat kemudian diimport ke halaman lay-out majalah. Jadi deh itu draft majalah.
Akan tetapi, untuk dapat mewujudkan sebuah majalah yang sederhana sekalipun harus ada segudang kreatifitas. Tetapi, kreatifitas siswa tidak cukup untuk mewujudkan sebuah majalah. Kekreatifan siswa hanya bernilai 30%, sedangkan sisanya adalah kemauan sebanyak 70%, yakni kemauan sekolah untuk membuat majalah. Tentunya kemauan ini tidak hanya sekedar dari guru Bahasa Indonesia saja, tetapi harus didukung berbagai komponen sekolah, mulai dari kepala sekolah, seluruh guru, karyawan, komite sekolah, orang tua siswa, dan yang terpenting siswa itu sendiri.
Bila niat, kemauan, dan cita-cita membuat majalah sudah 100%, teman-teman akan menuju proses kedua. Setelah kemauan tentunya harus ada usaha. Dalam tahap ini cukup melelahkan. Akan tetapi, lebih melelahkan pada jaman dulu, di saat terbatasnya alat komunikasi dan sarana percetakan yang belum banyak tersedia. Bisa dibayangkan pada abad ke-19, dimana pada saat itu kabar dari Inggris baru bisa sampai dan dibaca di AS 36 hari kemudian. Pada tahun 1838, selisih waktu itu makin sedikit, dari mulai 3 pekan menjadi 2 pekan lamanya. Teman-teman sekarang bisa dengan mudah menerima berita dari sana-sini dengan adanya sarana yang lebih mutakhir juga canggih.
Dari kebanyakan siswa-siswi, setelah penulis mencoba mengadakan penelitian dengan pertanyaan: “Mudahkah membuat majalah sekolah?”. Maka kata “susah” lebih banyak terlontar dari mereka. Dalam hal ini, mereka tidak bisa disalahkan, karena belum tentu guru mereka bisa membuatnya. Ini dapat dipahami, karena tidak ada dalam mata pelajaran sekolah. Secara khusus mengenai pembuatan majalah sekolah, konon katanya sekolah-sekolah di Amerika sana semuanya mempunyai majalah sekolah yang dibuat sendiri. Di sana ada mata pelajaran jurnalistik, bahkan ada kelas khusus jurnalistik. Saya berkeyakinan, dalam jangka waktu 10 tahun terakhir ini banyak sekolah yang menyadari arti penting majalah sekolah.
Menurut pengalaman penulis selaku pimpinan redaksi, pembuatan majalah sekolah dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut: Pertama, masa persiapan, yakni membuat proposal. Proposal hendaknya dibuat dan dibahas oleh seluruh pengelola, mulai dari soal nama majalah, visi-misi, rencana rubrikasi, jumlah, hingga rencana pemasukan dan pengeluarannya. Kedua, masa penulisan dan pengeditan. Penulis naskah bisa berasal dari siswa, guru, dan karyawan. Untuk memfokuskan isi, sebaiknya dilakukan rapat redaksi terlebih dahulu. Jangan lupa, dalam redaksi itu harus ada kesepakatan bersama, kapan batas akhir (deadline) pengumpulan naskah.
Setelah semua tulisan masuk ke meja redaksi, langkah ketiga adalah menyeleksi naskah layak muat. Setelah itu masuk tahap layout atau tata letak atau disebut juga perwajahan. Dalam melakukan layout bisa oleh sendiri, itu lebih baik. Namun jika belum mampu, bisa meminta bantuan orang lain yang lebih ahli. Meski yang me-layout adalah orang lain, akan tetapi alangkah lebih baiknya ide-ide yang hendak kita sampaikan kepada pembaca muncul dari pihak redaksi itu sendiri.
Hasil layout lalu di-print ulang untuk mencari bagian mana yang masih kurang pas atau masih terdapat kesalahan. Langkah keempat adalah pracetak, pada masa ini pembuatan majalah telah 70% hampir rampung. Ibarat foto yang hanya menyelesaikan filmnya saja. Dalam tahapan ini dihadapkan pada dua pilihan, apakah menggunakan film atau kalkir. Film pun ada dua jenis, yaitu separasi (warna) dan hitam-putih. Pilihan ini tergantung dari kemampuan pengelola majalah sekolah, terutama dalam pendanaan. Kalau dananya minim, bisa menggunakan kalkir. Banyak juga pengelola majalah sekolah yang menggunakan film separasi untuk mencetak cover. Sedangkan isi (halaman dalam) menggunakan kertas kalkir.
Kelima, pencetakan. Ini adalah tahapan terakhir dan sangat menentukan kualitas cetak majalah, karenanya redaksi harus hati-hati dalam memilih percetakan yang betul-betul berpengalaman, dan harganya pun terjangkau. Perlu diperhatikan, percetakan harus tepat waktu, jangan meleset dari waktu terbit yang ditentukan pengelola.
Setelah kelima langkah tersebut dilakukan, bukan berarti pekerjaan pengelola majalah selesai. Ada hal yang tak kalah penting, yakni distribusi majalah agar sampai ke pembaca tepat waktu. Bisa juga distribusi ini dilakukan lewat kopsis, wali kelas, ataupun ketua kelas.
Membaca dan melihat-lihat berbagai majalah yang sekarang ini banyak terbit juga harus dijadikan kebutuhan. Kita bisa banyak belajar seluk-beluk penerbitan majalah dari kegiatan sederhana itu. Seperti apa yang dilakukan De Witt Wallace yang hobi membaca dan mengumpulkan berbagai jenis majalah. Akhirnya pada tahun 1922, dia mampu melahirkan ”Reader’s Digest”, sebuah majalah yang sampai sekarang diakui sebagai majalah terlaris di seluruh dunia.
Sekarang ini penulis juga aktif di redaksi Majalah Islami Al-Hasan. Walaupun bekal kemampuan jurnalistik belum begitu memadai, namun dengan kemauan besar, sampai saat ini Al-Hasan telah rutin terbit bulanan. Dan penulis yakin, teman-teman sekalian pun dapat membuat majalah sekolah dan menerbitkannya secara rutin.


(Penulis adalah Pemred Majalah Islami Al-Hasan Ciamis)

Dian prayoga paradja
085223990044

Tidak ada komentar:

Posting Komentar